Manusia merupakan makhluk sosial yang pasti berkeinginan untuk hidup bermasyarakat dan berinteraksi dengan orang lain. Manusia juga termasuk homo homini socius yang berarti manusia sebagai sahabat bagi manusia lainnya dan homo economicus yang berarti manusia sebagai makhluk yang tak pernah berhenti dan puas dalam mencapai segala keinginan dan kebutuhan hidupnya serta akan melakukan terus-menerus sampai memenuhi apa yang diinginkan.

Semua makhluk hidup yang ada di dunia ini memiliki kebutuhan dan kepentingan yang berbeda-beda. Dalam kehidupan ini, manusia tidak mungkin bisa hidup sendiri dalam memenuhi kebutuhan hidup tanpa bantuan dari orang lain. Maka dari itu, manusia perlu adanya interaksi, bermasyarakat, dan bersilaturahmi untuk tolong-menolong dalam mencapai dan memenuhi kebutuhan. Sebab, manusia itu makhluk sosial yang berarti saling membutuhkan satu sama lain.

Terbukti bahwa manusia merupakan makhluk sosial yang mempunyai naluri dalam dirinya. Naluri itu terdapat dalam diri manusia untuk tolong-menolong, setia kawan, memiliki rasa empati dan rasa simpati kepada sesamanya. Dengan adanya naluri tersebut, manusia dapat membentuk masyarakat yang baik, sopan, dan rukun sehingga timbullah norma. Apabila semua itu tidak dijalankan dengan baik dan diabaikan bahkan dilanggar oleh makhluk sosial, maka akan terjadilah penyimpangan sosial.

Dalam dunia fana sekarang ini, banyak masyarakat yang masih acuh tak acuh terhadap masalah-masalah yang terjadi di negeri ini. Sangat miris, seharusnya masyarakat mengubah dan menyelesaikan masalah-masalah yang ada di negeri ini. Seperti masalah umat yang hanya memikirkan kesejahteraan hidup masing-masing dan enggan memikirkan bahkan membantu umat yang sedang kesusahan dalam hidup.

Seperti permasalahan umat yang paling mendasar, kebanyakan manusia masih mementingkan kepentingan pribadi di atas kepentingan orang lain (umat). Selain itu, mereka juga tidak menyadari negeri ini tidak sedang baik-baik saja dan bahkan menganggap negeri ini terlalu nyaman, tentram dan sejahtera. Padahal, kenyataan yang terjadi masih banyak permasalahan di negeri ini yang harus diperbaiki.

Namun demikian, masih ada orang-orang yang peduli dengan keadaan yang demikian itu. Salah satunya adalah Mohammad Nasih. Dia merupakan sosok panutan, ia sangat mementingkan dan mengutamakan kepentingan ataupun kebutuhan orang lain di atas kepentingan dan kebutuhan dirinya sendiri. Maksud dari mengutamakan orang lain itu disebut altruisme. Kepribadian itu sudah melekat dalam diri Mohammad Nasih sejak kecil, berbekal fasilitas surau kecil di depan rumahnya yang membuat dia harus mengajar dan mencintai kegiatan mengajar hingga kini dan mungkin sampai kapanpun. Kepeduliannya itulah yang akhirnya menggerakkannya untuk mendirikan rumah perkaderan, yang mewadahi mahasiswa-mahasiswa yang berprestasi dan bersemangat tinggi untuk belajar namun terkendala biaya untuk melanjutkan pendidikan. Nasih memiliki ambisi untuk mencerdaskan bangsa. Rumah Perkaderannya ada di beberapa tempat, yaitu Jakarta, Semarang dan Rembang. Para santrinya memanggilnya dengan sebutan Abah.

Abah Nasih juga merupakan seorang ayah dari empat anak, sekaligus pengajar. Ia lebih banyak menggunakan waktunya untuk mengajar para muridnya di Jakarta dan Semarang. Ia selalu mengedepankan anak ideologisnya dibandingkan dirinya sendiri bahkan keluarga. Dan ia rela bolak balik Jakarta-Semarang hanya untuk mengajar  dalam keadaan apapun. Mengajar membuatnya menjadi kuat, mendapatkan ide-ide baru yang belum pernah terpikirkan sebelumnya dan bahkan mengajar akan membuatnya bahagia. Sebab kecintaannya pada mengajar, ketika santri-santrinya pulang saat hari raya, ia merasa sedih dan ingin segera berjumpa dengan santri-santrinya, meskipun tak jarang santri-santri tersebut membuatnya ‘geram’, tetapi Nasih mencintai ‘jalan sunyi’ ini.

Selain itu, setiap perjalanan menuju Jakarta-Semarang dan Semarang-Rembang, Abana tidak pernah menggunakan uangnya untuk hal-hal yang tidak memiliki manfaat untuk orang banyak. Misalnya, Abana tidak pernah berhenti makan di warung dalam perjalanan, sebelum berangkat Abana selalu sarapan di rumah dan makan kembali apabila telah tiba di tempat tujuan. Mengapa demikian? Karena menurut Abana, uang itu harus dipakai untuk hal-hal yang berguna bagi orang banyak. Abana sangat mengutamakan orang lain dibandingkan dirinya sendiri, karena baginya membantu orang lain akan membawa manfaat yang banyak di dunia ini.

Abana melakukan semua itu dengan tujuan untuk membentuk para disciple menjadi generasi penerus yang unggul dan memiliki kriteria ‘ilmu al-‘ulama’, amwaalu al-agniya’, dan siyasatu al-muluk wa al-mala’. Abana juga mengajari para disciple agar menjadi pemimpin yang ahli dalam berbagai bidang, seperti ahli dalam bidang ilmu agama, ahli politik dan ahli berwirausaha. Jika sebuah negara memiliki seorang pemimpin yang mempunyai kriteria di atas, maka negara tersebut akan menjadi negara yang kuat dari segi agama, pengetahuan, ekonomi, sosial dan politik.

Suatu ketika Abana pernah berkata kepada para disciple Monash Institute “Negara ini masih memiliki banyak masalah yang harus diluruskan dan diperbaiki. Maka dari itu, kalian harus belajar sungguh-sungguh agar bisa menjadi pemimpin yang sanggup memikul beban negara ini”. Abana juga mengajarkan kepada para disciple untuk menjadi orang yang mampu dan memiliki keinginan untuk menanggung beban orang lain, karena menurut Abana tidak semua orang ingin mengambil jalan tersebut. Seperti dalam al-Qur’an Allah menyebutkan sebuah pertanyaan:

Artinya: “Tetapi dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar. Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu?” (QS Al-Balad [90]: 11-12).

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa jalan yang mendaki lagi sukar ialah jalan kebaikan menuju ridha Allah. Jalan itu hanya bisa ditempuh oleh orang-orang yang memiliki kemauan dan kesabaran. Dari ayat itulah, Abana menanamkan dalam pikiran-pikiran disciples untuk selalu memilih jalan hidup yang sukar dan sulit untuk ditempuh. Hal itu merupakan sebuah proses bagi diri untuk mencari ridha Allah dan menjadi seorang yang tangguh dalam menanggung beban serta memimpin segala permasalahan di negara ini.

Abana mendasarkan argumentasinya berdasarkan kisah para nabi. Mereka inilah orang-orang pilihan yang memiliki kemauan dalam mengemban beban orang lain (umat). Sebut saja nabi Muhammad, bukti dia memikirkan orang lain adalah ketika Nabi mengalami sakarat al-maut yang beliau sebut adalah umatnya. tidak cuma itu, dia berdoa agar sakarat al-maut yang dijalani umatnya bisa dikurangi dan di berikan kepada dirinya.

Hal inilah yang coba ditanamkan Abana yang sesuai dengan Q.S An-Nisa’ ayat 75, yanhg artinya “Dan mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang lemah (mustad’afin), baik laki-laki, perempuan maupun anak-anak yang berdo’a, “Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini yang penduduknya dhalim, berilah kami pelindung dari sisi-Mu dan berilah kami penolong di sisi-Mu.”

Pada ayat ini secara tersirat menunjukan perlu adanya kaum yang mau memperjuangkan hak orang lain (umat). Oleh karena itu, Abah selalu berpikir benar agar tidak ada waktu untuk malas-malasan yang berujung pada sakit, karena masih banyak persoalan umat yang perlu ditanggung untuk diselesaikan. Abah juga selalu mengingatkan bahwa negeri ini masih membutuhkan pemimpin yang memiliki altruisme yang tinggi atas semua masalah yang ada di negeri ini dan tidak mementingkan diri sendiri.

Mengutamakan orang lain adalah paham altruisme. Dalam ensiklopedia, Altruisme adalah memberi perhatian untuk kesejahteraan orang lain di atas kesejahteraan diri sendiri. Selain itu, altruisme merupakan sifat yang suka mempertahankan dan mengutamakan kepentingan orang lain, cinta kasih yang tidak terbatas kepada sesama manusia. Maka penulis merasa tidak berlebihan menyebut Mohamad Nasih sebagai Pemilik Altruisme Tingkat Dewa.

Oleh : Saidah Marifah Mz, Wasekum PTKP Komisariat FITK Walisongo Semarang 2019-2020.